Jumat, 01 Maret 2013

Aku - 5



        Aku tak sadar berapa lama aku tertidur kembali atau mungkin aku pingsan lagi. Entahlah. Mataku masih terpejam, pusingnya kepala masih membuatku malas membuka mata. Perutku sakit sekali. Kutelan ludah dengan malas. Kulit bibirku mengelupas. Aku haus.
      Kubuka mata dengan malas. Kutatap sekeliling ruangan. Hari masih terang. Apakah hari sudah berganti? Atau ini masih hari yang sama? Di tengah pikiranku masih tidak karuan, langsung kutemukan Nathan dan Milly di ujung kamar. Sesenggukan kulihat Milly menangis di pelukan Nathan. Begitu pula kulihat Nathan memeluknya dengan lembut. Sesekali ia tengadahkan kepala ke atas, sedangkan Milly berkali – kali mengusap hidungnya sendiri. Aku tahu, mereka berdua menangis. Tapi ada apa?
            Aku mencoba bersuara memanggil mereka, tapi urung kulakukan. Milly tak sanggup berdiri, ia terjatuh ke lantai bersamaan dengan tangan Nathan yang mencoba menahannya. Aku sontak hendak bangun dari tempat tidurku. Begitu kugerakkan badanku sedikit..
            “Aaarrrrgggghhhhh..”, aku mengaduh keras.
          Mereka menoleh padaku dan segera berdiri. Aku mengerang kesakitan. Ya Tuhan, perih sekali perutku!!!
           “Kamu sudah bangun?”, kata Milly menghampiriku dengan tergesa. 
           “Kamu kenapa gerak – gerak? Kalau sudah bangun, harusnya kamu manggil kami tadi. Lagian mau kemana?”.
    Milly terus nyerocos dengan matanya tetap menangis. Kulihat Nathan dibelakangnya pun berusaha mengusap air matanya sendiri.
        Milly menatapku. Tatapan teduh kasih sayang itu kini seolah memakanku, mempersilakanku menerawang isi hatinya, membuatku mengerti bahwa ia, pacarku, sangat mencintaiku. Aku segera memeluknya. Perih perutku, pusingnya kepalaku, dan gesekan perih kulit bibirku tak lagi kupedulikan. Aku ingin memeluknya, memberinya rasa nyaman, berterima kasih atas semua yang telah diperjuangkan, dan memberinya kekuatan atas luka yang saat ini sedang ia rasakan, entah apa itu.
      Milly menangis semakin menjadi dalam dekapanku. Kulihat Nathan di balik tubuh Milly tersenyum manis dan tetap mengurai air matanya. Entah apa yang terjadi, aku masih belum tahu. Tapi keadaan haru ini membuatku ikut menangis. Air mataku menetes dengan ikhlas untuk mereka. Atas semua yang mereka rasakan saat ini, aku berterima kasih karena Tuhan Mengenalkanku pada mereka.
     Milly memberiku isyarat melepas dekapanku. Akupun melepasnya dan membiarkannya duduk di atas ranjangku. Diusapnya air mata dengan tisu yang sudah kepalang basah daritadi, dan kini tak berarti. Tapi dia tetap melakukannya, seolah ingin membuang tetesan air dari pelipis matanya dan mencoba mulai bicara.
            “Mas...”, kata Milly memanggilku dengan lembut. Aku hanya melihatnya, pertanda aku mendengarnya untuk bicara.
            “Kamu kena HIV Aids stadium 2, Mas”, kata Milly dan kembali menangis sejadi – jadinya.
            Ragaku seolah hilang, pikiranku mendadak kosong. Aku masih tak dapat mencerna kalimat Milly. Aku sakit apa? HIV Aids?
        Kutatap wajahnya, kutatap wajah Nathan pula. Kutatap mereka saling bergantian. Mereka makin menangis. Nathan menghampiriku, hendak memelukku.
         Kutampik tangan Nathan, kutarik selimut dan kubekap diriku sendiri, memberi jarak dari tempat Milly duduk.
            “Aku apa? Aku kena HIV?”, tanyaku masih sambil mencerna semua yang terjadi. Ada apa ini? Mengapa tiba – tiba..
            “Mas, lihat aku..lihat aku..”, kata Milly seraya menarik wajahku, memaksaku melihatnya.
            “Kamu akan sembuh, Mas. Kita berdua akan sembuh.”, ucap Milly.
            “Kita?”, tanyaku.
            “Mas, kita pernah melakukan itu. Aku kemungkinan besar tertular. Entah sekarang di stadium berapa. Tapi kita akan sembuh, Mas. Pasti. Kita akan sembuh. Kita harus mencari cara.”, ujar Milly tanpa jeda dan memberiku kesempatan mencerna kembali semuanya.
            Aku merasa saat inilah saat paling bodoh bagiku. Otakku serasa lambat mencerna semua. Otakku kosong dan tak tahu harus berkata dan berucap apa. Aku hanya merasakan ketakutan dan kebingungan.
            “Kita tak mungkin sembuh.”, ucapku reflek.
      Perkataanku membuat Milly terdiam mendadak dari tangisnya. Dia menatapku tajam seolah tak percaya. Aku hanya menatap nanar selimutku dan mendekap tubuhku sendiri. Milly meraih bantal di sampingku dan melemparnya ke wajahku.
            “Anjing! Kamu pikir ini apa? Gara – gara kamu aku juga kemungkinan besar kena virus ini. Kurang puas apa kamu? Kamu pasti main juga sama perempuan lain. Anjing!!!”.
            Milly menyeruak ke tubuhku, menjambak rambutku dan menyeret diriku ke lantai. Selang infus bergelayut – gelayut mengikuti kemana lenganku pergi. Nathan kebingungan, mencoba mendekap Milly dan berusaha melepaskan tangannya dari rambutku.
“Cukup, Milly. Ini nggak menyelesaikan masalah!”, teriak Nathan.
Suster tergopoh – gopoh masuk. “Apa – apaan ini, Mbak, Mas? Hentikan, ini rumah sakit!”, teriak Suster dan berusaha melerai kami bertiga yang sedang bergumul. Kamipun terpisahkan.
“Mbak, pasien ini kan sedang istirahat, kenapa malah bertengkar disini? Pasien ini akan segera kami pindahkan dari ruangan ini karena terkena HIV harus diisolasi di ruang khusus sesama penderita. Mbak jangan bikin ribut disini! Pasien lain perlu istirahat! Kami juga perlu bekerja! Sebaiknya mbak pulang saja!”, kata Suster itu dengan nada marah.
“Suster tahu apa tentang saya? Asal suster tahu, dia pacar saya. Dan suster tahu, saya pun sangat mungkin terkena HIV gara – gara bajingan ini. Suster nggak perlu ceramah disini!”, kata Milly marah dan pergi keluar dari pintu.
Suster itu menghela nafas. Dia menatapku dan berkata, “Bapak baiknya tidak menerima tamu. Segera kami pindahkan Bapak setelah ini dan Bapak akan kami karantina di ruang khusus penderita.”
Nathan terlihat meminta maaf ke Suster. Suster menganjurkan Nathan berhati – hati denganku. Nathan sepertinya mengiyakan, meminta Suster itu segera menyiapkan kamar dan dia akan mempersiapkan diriku.
Setelah Suster itu menutup pintu, Nathan menghampiriku. Dia mencoba memelukku. Aku menampiknya, tak ingin dikasihani.
“Nanda, kau tahu, aku saat ini tak ingin mengasihanimu. Aku harusnya marah seperti Milly memarahimu. Lihat dirimu, betapa egoisnya kau. Kupeluk pun kau tak mau.”
“Nanda, aku juga sangat mungkin mengidap penyakit yang sama denganmu. Kita sudah menjalani hubungan ini di belakang Milly. Tak adakah kamu kasihan padaku atau pada Milly? Kita bertiga kemungkinan mengidap penyakit ini. Hanya, saat ini kau telah terbukti. Dari kemarin siang, setelah kau sadar, kau pingsan lagi. Saat itulah aku mengantar Milly ke laboratorium. Milly baru ambil darah tadi pagi. Tanpa sepengetahuannya, akupun melakukan hal yang sama. Hasil test kami berdua akan keluar sore ini. Tak kasihankah kau pada kami? Tak kasihankah kau pada keadaan kita bertiga? Terlebih Milly. Saat ini aku tahu, diantara kita, dialah yang sesungguhnya paling terluka. Dia tak mengetahui hubungan kita. Harusnya kita tahu ini akan terjadi, bukan? Sudah banyak penelitian yang menyebutkan bahwa HIV sangat rawan dari hubungan sesama jenis. Bukankah itu juga alasan Tuhan Melarang kita? Kita tahu..tapi kita tak mau tahu.”
“Maafkan aku.”, sahutku lirih.
Nathan tersenyum. Senyuman yang selalu meneduhkan hatiku, tempatku dapat menjadi diriku apa adanya. 
“Istirahatlah, sambil kita tunggu kamar isolasimu siap. Kalau Milly tak mau menemui lagi, biarlah. Kau masih punya aku, yang akan menemanimu di kamar isolasi nanti.”, kata Nathan sambil membelai rambutku halus.

---END---

1 komentar: