Aku tak sadar berapa lama aku tertidur kembali atau
mungkin aku pingsan lagi. Entahlah. Mataku masih terpejam, pusingnya kepala
masih membuatku malas membuka mata. Perutku sakit sekali. Kutelan ludah dengan
malas. Kulit bibirku mengelupas. Aku haus.
Kubuka
mata dengan malas. Kutatap sekeliling ruangan. Hari masih terang. Apakah hari
sudah berganti? Atau ini masih hari yang sama? Di tengah pikiranku masih tidak
karuan, langsung kutemukan Nathan dan Milly di ujung kamar. Sesenggukan kulihat
Milly menangis di pelukan Nathan. Begitu pula kulihat Nathan memeluknya dengan
lembut. Sesekali ia tengadahkan kepala ke atas, sedangkan Milly berkali – kali
mengusap hidungnya sendiri. Aku tahu, mereka berdua menangis. Tapi ada apa?
Aku
mencoba bersuara memanggil mereka, tapi urung kulakukan. Milly tak sanggup
berdiri, ia terjatuh ke lantai bersamaan dengan tangan Nathan yang mencoba
menahannya. Aku sontak hendak bangun dari tempat tidurku. Begitu kugerakkan
badanku sedikit..
“Aaarrrrgggghhhhh..”,
aku mengaduh keras.
Mereka
menoleh padaku dan segera berdiri. Aku mengerang kesakitan. Ya Tuhan, perih
sekali perutku!!!
“Kamu
sudah bangun?”, kata Milly menghampiriku dengan tergesa. “Kamu kenapa gerak – gerak? Kalau sudah bangun, harusnya kamu manggil kami tadi. Lagian mau kemana?”.
Milly
terus nyerocos dengan matanya tetap menangis. Kulihat Nathan dibelakangnya pun berusaha
mengusap air matanya sendiri.
Milly
menatapku. Tatapan teduh kasih sayang itu kini seolah memakanku,
mempersilakanku menerawang isi hatinya, membuatku mengerti bahwa ia, pacarku,
sangat mencintaiku. Aku segera memeluknya. Perih perutku, pusingnya kepalaku,
dan gesekan perih kulit bibirku tak lagi kupedulikan. Aku ingin memeluknya,
memberinya rasa nyaman, berterima kasih atas semua yang telah diperjuangkan,
dan memberinya kekuatan atas luka yang saat ini sedang ia rasakan, entah apa
itu.
Milly
menangis semakin menjadi dalam dekapanku. Kulihat Nathan di balik tubuh Milly
tersenyum manis dan tetap mengurai air matanya. Entah apa yang terjadi, aku
masih belum tahu. Tapi keadaan haru ini membuatku ikut menangis. Air mataku
menetes dengan ikhlas untuk mereka. Atas semua yang mereka rasakan saat ini,
aku berterima kasih karena Tuhan Mengenalkanku pada mereka.
Milly
memberiku isyarat melepas dekapanku. Akupun melepasnya dan membiarkannya duduk
di atas ranjangku. Diusapnya air mata dengan tisu yang sudah kepalang basah
daritadi, dan kini tak berarti. Tapi dia tetap melakukannya, seolah ingin
membuang tetesan air dari pelipis matanya dan mencoba mulai bicara.
“Mas...”,
kata Milly memanggilku dengan lembut. Aku hanya melihatnya, pertanda aku
mendengarnya untuk bicara.
“Kamu
kena HIV Aids stadium 2, Mas”, kata Milly dan kembali menangis sejadi –
jadinya.
Ragaku
seolah hilang, pikiranku mendadak kosong. Aku masih tak dapat mencerna kalimat
Milly. Aku sakit apa? HIV Aids?
Kutatap
wajahnya, kutatap wajah Nathan pula. Kutatap mereka saling bergantian. Mereka
makin menangis. Nathan menghampiriku, hendak memelukku.
Kutampik
tangan Nathan, kutarik selimut dan kubekap diriku sendiri, memberi jarak dari
tempat Milly duduk.
“Aku
apa? Aku kena HIV?”, tanyaku masih sambil mencerna semua yang terjadi. Ada apa
ini? Mengapa tiba – tiba..
“Mas,
lihat aku..lihat aku..”, kata Milly seraya menarik wajahku, memaksaku
melihatnya.
“Kamu
akan sembuh, Mas. Kita berdua akan sembuh.”, ucap Milly.
“Kita?”,
tanyaku.
“Mas,
kita pernah melakukan itu. Aku kemungkinan besar tertular. Entah sekarang di
stadium berapa. Tapi kita akan sembuh, Mas. Pasti. Kita akan sembuh. Kita harus
mencari cara.”, ujar Milly tanpa jeda dan memberiku kesempatan mencerna kembali
semuanya.
Aku
merasa saat inilah saat paling bodoh bagiku. Otakku serasa lambat mencerna
semua. Otakku kosong dan tak tahu harus berkata dan berucap apa. Aku hanya
merasakan ketakutan dan kebingungan.
“Kita
tak mungkin sembuh.”, ucapku reflek.
Perkataanku
membuat Milly terdiam mendadak dari tangisnya. Dia menatapku tajam seolah tak
percaya. Aku hanya menatap nanar selimutku dan mendekap tubuhku sendiri. Milly
meraih bantal di sampingku dan melemparnya ke wajahku.
“Anjing!
Kamu pikir ini apa? Gara – gara kamu aku juga kemungkinan besar kena virus ini.
Kurang puas apa kamu? Kamu pasti main juga sama perempuan lain. Anjing!!!”.
Milly
menyeruak ke tubuhku, menjambak rambutku dan menyeret diriku ke lantai. Selang
infus bergelayut – gelayut mengikuti kemana lenganku pergi. Nathan kebingungan,
mencoba mendekap Milly dan berusaha melepaskan tangannya dari rambutku.
“Cukup, Milly. Ini nggak
menyelesaikan masalah!”, teriak Nathan.
Suster tergopoh – gopoh masuk.
“Apa – apaan ini, Mbak, Mas? Hentikan, ini rumah sakit!”, teriak Suster dan
berusaha melerai kami bertiga yang sedang bergumul. Kamipun terpisahkan.
“Mbak, pasien ini kan sedang
istirahat, kenapa malah bertengkar disini? Pasien ini akan segera kami
pindahkan dari ruangan ini karena terkena HIV harus diisolasi di ruang khusus
sesama penderita. Mbak jangan bikin ribut disini! Pasien lain perlu istirahat!
Kami juga perlu bekerja! Sebaiknya mbak pulang saja!”, kata Suster itu dengan
nada marah.
“Suster tahu apa tentang saya?
Asal suster tahu, dia pacar saya. Dan suster tahu, saya pun sangat mungkin
terkena HIV gara – gara bajingan ini. Suster nggak perlu ceramah disini!”, kata
Milly marah dan pergi keluar dari pintu.
Suster itu menghela nafas. Dia
menatapku dan berkata, “Bapak baiknya tidak menerima tamu. Segera kami
pindahkan Bapak setelah ini dan Bapak akan kami karantina di ruang khusus
penderita.”
Nathan terlihat meminta maaf ke
Suster. Suster menganjurkan Nathan berhati – hati denganku. Nathan sepertinya
mengiyakan, meminta Suster itu segera menyiapkan kamar dan dia akan
mempersiapkan diriku.
Setelah Suster itu menutup
pintu, Nathan menghampiriku. Dia mencoba memelukku. Aku menampiknya, tak ingin
dikasihani.
“Nanda, kau tahu, aku saat ini
tak ingin mengasihanimu. Aku harusnya marah seperti Milly memarahimu. Lihat
dirimu, betapa egoisnya kau. Kupeluk pun kau tak mau.”
“Nanda, aku juga sangat mungkin
mengidap penyakit yang sama denganmu. Kita sudah menjalani hubungan ini di
belakang Milly. Tak adakah kamu kasihan padaku atau pada Milly? Kita bertiga
kemungkinan mengidap penyakit ini. Hanya, saat ini kau telah terbukti. Dari
kemarin siang, setelah kau sadar, kau pingsan lagi. Saat itulah aku mengantar
Milly ke laboratorium. Milly baru ambil darah tadi pagi. Tanpa
sepengetahuannya, akupun melakukan hal yang sama. Hasil test kami berdua akan
keluar sore ini. Tak kasihankah kau pada kami? Tak kasihankah kau pada keadaan
kita bertiga? Terlebih Milly. Saat ini aku tahu, diantara kita, dialah yang
sesungguhnya paling terluka. Dia tak mengetahui hubungan kita. Harusnya kita
tahu ini akan terjadi, bukan? Sudah banyak penelitian yang menyebutkan bahwa
HIV sangat rawan dari hubungan sesama jenis. Bukankah itu juga alasan Tuhan
Melarang kita? Kita tahu..tapi kita tak mau tahu.”
“Maafkan aku.”, sahutku lirih.
Nathan tersenyum. Senyuman yang
selalu meneduhkan hatiku, tempatku dapat menjadi diriku apa adanya.
“Istirahatlah, sambil kita tunggu kamar isolasimu
siap. Kalau Milly tak mau menemui lagi, biarlah. Kau masih punya aku, yang akan
menemanimu di kamar isolasi nanti.”, kata Nathan sambil membelai rambutku
halus.
---END---
nice post gan, cendol :p
BalasHapus