Jumat, 01 Maret 2013

Pasir - 2



Hai.. Apa kabarmu? Iya, maaf aku belum sempat menemuimu beberapa hari ini.

Ah,nggak juga.. Keadaanq sedikit membaik kok.

Hahahhhaaaaa.. Mengapa? Kau ingin mendengar ceritaku?

Baiklah..

Ya hari itu seperti biasa, setelah keadaanku dengannya yang tidak membaik, akupun meluapkan kemarahan itu. Aku mempertanyakan mengapa dia mendepakku bagaikan manekin tanpa hati. Aku cuma mayat hidup yang bisa dipakai dan didepak seenak hatinya.

Ya tentu saja aku berpikir demikian. Kau tahu, saat itu aku tak lagi "menghasilkan". Secara materi, uangq telah habis aku hantarkan ke kampung halaman saat aku pulang. Semua keramahan darinya yang aku rasakan saat kami bertemu hingga dirinya memintaku menjalani hubungan sejenis ini,semua sirna seketika.

Dan dia pun menjelaskan, betapa dia tidak nyaman dengan sikapku yang terlalu mencampuri urusan pertemanannya. Membuatnya selalu resah.

Baiklah..aku memang pernah kan menceritakan padamu bahwa aku tidak nyaman dengan sikapnya. Tapi, apa aku tidak wajar? Egoku mempertanyakan itu. Tapi, baiklah. Seseorang pernah mengatakan padaku, betapa bodohnya menyertakan hati dalam hubungan sejenis ini. Aku belajar. Aku memang salah mencintai seseorang menggunakan hati. Apalagi cinta ini sejenis.

Baiklah.. Malam itu aku menurunkan semua egoku. Aku akan belajar. Belajar untuk mencintainya tanpa hatiku. Belajar melewati hubungan ini tanpa rasa, tanpa ikatan, hanya nafsu belaka.

Air mata ini menetes saat itu di depannya. Tanganku erat memegang tangannya, menangisi betapa bodohnya diriku dengan segala keluguanku mencintai seseorang yang sedikitapiun tak pernah menyertakan hatinya padaku. Mencintai seseorang yang, dia sendiri katakan, terpaksa menjalani hubungan ini.

Tuhan.. Air mataku menetes, menangisi diriku sendiri. Betapa kasihannya diriku. Betapa bodohnya seorang sepertiku. Aku memeluk tubuhku sendiri.

Sakit..

Perih..

Ngilu..

Malam itu dia meminta maaf padaku atas semuanya. "Aku masih sayang km"..

Haahhahaaaa..ya tentu sajalah aku melayang. Luka hati yang perih seolah disentuh oleh jemari yang hangat, membalut hati itu dan menggenggamnya dengan lembut. Air mataku menetes terharu, terus tercucur dan kutatap wajahnya yang lugu.

Malam itu kami bercinta.. Bercinta lebih hebat dari biasanya, penuh kecupan, penuh peluh, penuh pelukan.

Malam itu dia genggam erat tanganku hingga pagi menjelang siang.

Dan pagi itu, dia bangunkanku dengan kecupan mesra yang tak kunjung habis, tak kunjung selesai, bahkan nafaspun kalah olehnya.

Kau mungkin boleh cemburu, kau bahkan boleh iri. Tapi apalah arti itu semua jika hanya sementara? 2 hari setelah kedamaian dan kehangatan yang dia berikan, sikapnya berubah menjadi tempramen kembali. Sampai detik ini, aku belum mengerti apa penyebabnya.

Mungkinkah kini dia menggunakan skenario agar aku membencinya kembali dan akhirnya aku lah yang memutuskan hubungan ini? Atahukah ini karena sebuah pengaruh orang-orang sekitarnya sehingga dia berbalik menjadi membenciku hari itu?

Entahlah..

Dalam perjalanan waktu tanggal 31 Desember 2012, pukul 11.45 malam, dia banting sekantong minuman di tengah keramaian orang di Bundaran Hotel Indonesia Jakarta. Dia berbalik dan pergi menghilang tertelan lautan manusia yang merayakan pesta pergantian tahun itu.

Saat aku menatap punggungnya, saat itulah aku menarik nafas panjang dan berkata dalam hati "Baiklah..pergilah..aku siap melepasmu, Jeni. Walaupun tak pernah mudah, walaupun tak tahu seberapa lama lagi aku bisa memulai kehidupan baruku kembali. Kau..dengan segala kenanganmu..tak akan kubiarkan hilang. Mungkin aku memang akan rapuh. Tapi aku akan menikmati kerapuhan itu setiap detiknya demi mengenang dirimu dalam rythme hidupku. Pergilah, Jeni. Sampai jumpa di saat yang tepat kembali, jika Tuhan Menginginkannya"

Aku mendongak ke atas, menatap meriahnya lautan kembang api di udara Bundaran Hotel Indonesia. Dan bertetes-tetes air mengalir di ujung mataku.. Perih..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar