Hai.. Apa kabarmu?
Iya, maaf aku belum sempat menemuimu beberapa hari ini.
Ah,nggak juga..
Keadaanq sedikit membaik kok.
Hahahhhaaaaa..
Mengapa? Kau ingin mendengar ceritaku?
Baiklah..
Ya hari itu seperti
biasa, setelah keadaanku dengannya yang tidak membaik, akupun meluapkan
kemarahan itu. Aku mempertanyakan mengapa dia mendepakku bagaikan manekin tanpa
hati. Aku cuma mayat hidup yang bisa dipakai dan didepak seenak hatinya.
Ya tentu saja aku
berpikir demikian. Kau tahu, saat itu aku tak lagi "menghasilkan".
Secara materi, uangq telah habis aku hantarkan ke kampung halaman saat aku
pulang. Semua keramahan darinya yang aku rasakan saat kami bertemu hingga
dirinya memintaku menjalani hubungan sejenis ini,semua sirna seketika.
Dan dia pun
menjelaskan, betapa dia tidak nyaman dengan sikapku
yang
terlalu mencampuri urusan pertemanannya. Membuatnya selalu resah.
Baiklah..aku memang
pernah kan menceritakan padamu bahwa aku tidak nyaman dengan sikapnya. Tapi,
apa aku tidak wajar? Egoku mempertanyakan itu. Tapi, baiklah. Seseorang pernah
mengatakan padaku, betapa bodohnya menyertakan hati dalam hubungan sejenis ini.
Aku belajar. Aku memang salah mencintai seseorang
menggunakan hati. Apalagi cinta ini sejenis.
Baiklah.. Malam itu aku
menurunkan semua egoku. Aku akan belajar. Belajar untuk mencintainya tanpa hatiku.
Belajar melewati hubungan ini tanpa rasa, tanpa ikatan, hanya nafsu belaka.
Air mata ini menetes
saat itu di depannya. Tanganku erat memegang tangannya, menangisi betapa
bodohnya diriku dengan segala keluguanku mencintai seseorang yang sedikitapiun
tak pernah menyertakan hatinya padaku. Mencintai seseorang yang, dia sendiri
katakan, terpaksa menjalani hubungan ini.
Tuhan.. Air mataku
menetes, menangisi diriku sendiri. Betapa kasihannya diriku. Betapa bodohnya
seorang sepertiku. Aku memeluk tubuhku sendiri.
Sakit..
Perih..
Ngilu..
Malam itu dia
meminta maaf padaku atas semuanya. "Aku masih sayang km"..
Haahhahaaaa..ya tentu
sajalah aku melayang. Luka hati yang perih seolah disentuh oleh jemari yang
hangat, membalut hati itu dan menggenggamnya dengan lembut. Air mataku menetes
terharu, terus tercucur dan kutatap wajahnya yang lugu.
Malam itu kami
bercinta.. Bercinta lebih hebat dari biasanya, penuh kecupan, penuh peluh,
penuh pelukan.
Malam itu dia
genggam erat tanganku hingga pagi menjelang siang.
Dan pagi itu, dia
bangunkanku dengan kecupan mesra yang tak kunjung habis, tak kunjung selesai,
bahkan nafaspun kalah olehnya.
Kau mungkin boleh
cemburu, kau bahkan boleh iri. Tapi apalah arti itu semua jika hanya sementara?
2 hari setelah kedamaian dan kehangatan yang dia berikan, sikapnya berubah
menjadi tempramen kembali. Sampai detik ini, aku belum mengerti apa penyebabnya.
Mungkinkah kini dia
menggunakan skenario agar aku membencinya kembali dan
akhirnya aku lah yang memutuskan hubungan ini? Atahukah ini karena sebuah
pengaruh orang-orang sekitarnya sehingga dia berbalik menjadi membenciku hari
itu?
Entahlah..
Dalam perjalanan
waktu tanggal 31 Desember 2012, pukul 11.45 malam, dia banting sekantong
minuman di tengah keramaian orang di Bundaran Hotel Indonesia Jakarta. Dia
berbalik dan pergi menghilang tertelan lautan manusia yang merayakan pesta
pergantian tahun itu.
Saat aku menatap
punggungnya, saat itulah aku menarik nafas panjang dan berkata dalam hati
"Baiklah..pergilah..aku siap melepasmu, Jeni. Walaupun tak pernah mudah,
walaupun tak tahu seberapa lama lagi aku bisa memulai kehidupan baruku kembali.
Kau..dengan segala kenanganmu..tak akan kubiarkan hilang. Mungkin aku memang
akan rapuh. Tapi aku akan menikmati kerapuhan itu setiap detiknya demi
mengenang dirimu dalam rythme hidupku. Pergilah, Jeni. Sampai jumpa di saat
yang tepat kembali, jika Tuhan Menginginkannya"
Aku mendongak ke
atas, menatap meriahnya lautan kembang api di udara Bundaran Hotel Indonesia.
Dan bertetes-tetes air mengalir di ujung mataku.. Perih..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar