Mataku
yang masih tertutup, terasa silau karena kilauan cahaya. Kulitku pun merespon
hal yang sama, ada sesuatu yang hangat menyelimutinya. Kesadaranku perlahan
kembali. Mengernyit dahiku mencoba membuka mata. Jari-jariku naik, mencoba
mengucek kelopak mata.
“Ooouucccchhhhh..”
Tangan
kiriku sakit sekali.
“Jangan
ditarik, kamu lagi diinfus.”
Mataku
langsung menatapnya. Nathan???
“Kok
aku disini? Sejak kapan? Kamu ngapain juga disini? Ada apa sih?”
“Santai,
Nan. Pelan – pelan aja. Kamu pingsan. Jadi segera kubawa kesini. Kamu langsung
diinfus dan opname. Sekarang kamu istirahat dulu. Kamu baru sadar.”
Nathan
menarik kabel di atas kepalaku dan menekannya.
“Aku
panggil suster-nya.”
Aku
beringsut kembali ke balik selimutku. Kepalaku masih pusing. Aku masih tak ingin
bertanya dan berdebat. Dibetulkannya kembali selimutku.
Tak
selang hitungan menit, seorang suster menyapa dari daun pintu kamar.
“Selamat
sore. Oh, sudah sadar ya..”
Suster
tersebut langsung berbalik keluar lagi dari ruangan. Entah, sepertinya dia
harus merespon cepat keadaanku yang baru sadar. Tak selang berapa lama, dia
kembali ke ruangan.
“Dokter
Hirawan sudah dipanggil kesini. Sebentar lagi beliau datang, sekarang sedang di
lantai satu. Saya cek tensi dan suhu tubuh dulu ya, Pak Nanda. Bapak masih
pusing?”
“Masih”,
jawabku dengan suara lirih. Suster ini sebenanrya tidak cerewet tapi buatku
yang saat ini masih sangat berat mengangkat kepalaku, aku sangat pusing
mendengarnya. Dipompanya lenganku menggunakan alat tensi dan dijepitkannya thermometer di ketiakku.
“Tensi
Bapak rendah, 85/55. Suhu badan 36,5 ya, Pak Nanda. Sebentar lagi dokter
kemari”, ujarnya. Belum selesai Suster tersebut menggulung alat tensi, seorang
Kakek memasuki ruanganku. Oh, rupanya dia bukan Kakek biasa. Jubah putih
menandakan bahwa dirinya seorang dokter.
“Selamat
sore, Pak. Sudah sadar ya. Begini dong, jangan lama – lama pingsannya. Kasihan
temannya bingung dari tadi. Anda tahu sudah pingsan berapa lama? Di IGD saja
Anda sudah pingsan. Sekarang buka mulutnya, saya periksa dulu.”
Dokter
itu melakukan tugasnya. Diperiksanya dadaku menggunakan stetoskop. Begitu dia
menekan perutku..
“Aaahhhh..”,
aku merintih kesakitan.
“Sakit
ya?”, katanya sembari terus memeriksa.
“Sampel
darah Anda sudah diambil. Sekarang sudah kami kirim ke laboratorium. Kalau
hasilnya sudah ada, kami beritahukan. Mungkin nanti jam 11 malam hasinya ada.
Saya akan jelaskan waktu visite besok
pagi. Sekarang istirahat dulu. Nanti kalau ada makanan dari rumah sakit,
dihabiskan. Saya minta diberi bubur. Obatnya biar diatur Suster nanti.”
“Makasih, dok.”, jawabku lirih.
wanda ini ajeng
BalasHapusalready visit your blog
and going to follow this blog :)
keep blogging ya
jangan lupa visit n follow blogku
jenk-aiyu.blogspot.com